LPSK Dorong Pemerintah Optimalkan Dana Negara Demi Pemulihan Korban Kekerasan

Rabu, 05 November 2025 | 10:36:23 WIB
LPSK Dorong Pemerintah Optimalkan Dana Negara Demi Pemulihan Korban Kekerasan

JAKARTA - Upaya pemulihan bagi korban tindak pidana di Indonesia menunjukkan kemajuan signifikan. 

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat total nilai restitusi yang diajukan korban sepanjang Januari hingga September 2025 mencapai Rp33,05 miliar. Angka ini mencerminkan keseriusan negara dalam memastikan korban tindak pidana memperoleh hak pemulihan yang layak dari pelaku maupun negara.

Wakil Ketua LPSK Wawan Fahrudin menjelaskan, dari total nilai tersebut, sebanyak Rp9,28 miliar atau 28,1 persen telah masuk dalam tuntutan jaksa, Rp7,17 miliar atau 21,7 persen diputus oleh hakim, dan Rp3,22 miliar atau 9,7 persen sudah dibayar oleh pelaku. 

Menurutnya, situasi ini menggambarkan masih terbatasnya efektivitas sistem restitusi yang bergantung sepenuhnya pada kemampuan pelaku.

“Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa sistem restitusi yang murni bertumpu pada kemampuan pelaku belum mampu menjamin keadilan bagi korban,” ujar Wawan. Ia menekankan pentingnya kehadiran negara dalam memperkuat mekanisme restitusi, sehingga hak korban dapat terpenuhi tanpa menunggu kemampuan finansial pelaku.

Dorongan Optimalisasi PNBP Penegakan Hukum

Untuk memperkuat sistem tersebut, LPSK menilai perlu adanya optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor penegakan hukum. Skema ini diharapkan dapat menjadi sumber pendanaan tambahan bagi pemenuhan restitusi korban tindak pidana yang tidak mampu dibayar pelaku.

Wawan menuturkan, langkah ini juga selaras dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban, yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Sosial. 

Regulasi tersebut memberi dasar hukum bagi negara untuk menanggung sisa pembayaran restitusi kurang bayar.

Selain itu, konsep Dana Abadi Korban (DBK) yang sedang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) juga menjadi perhatian utama. DBK dirancang sebagai mekanisme jangka panjang untuk menjamin ketersediaan dana kompensasi dan rehabilitasi bagi korban tindak pidana.

“Kehadiran negara melalui DBK bukan untuk mengambil alih kewajiban pelaku, melainkan menutup kekosongan agar korban tetap mendapatkan haknya atas pemulihan,” tegas Wawan.

Selama ini, seluruh PNBP dari hasil penegakan hukum seperti denda pidana dan sitaan langsung disetorkan ke kas negara melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kejaksaan Agung. 

LPSK menilai, sebagian dari penerimaan tersebut dapat dialokasikan untuk DBK agar pembiayaan pemulihan korban lebih berkelanjutan dan tidak semata bergantung pada hibah atau alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Peran Negara Menjamin Keadilan bagi Korban

Pemerintah kini memiliki dasar hukum yang kuat untuk memastikan korban mendapatkan haknya atas restitusi. Melalui kebijakan yang tertuang dalam PP 29/2025, negara diberi kewenangan menanggung kekurangan pembayaran restitusi dari pelaku. 

Langkah ini diharapkan dapat memperkuat kehadiran negara dalam menjamin pemulihan psikologis, medis, dan sosial bagi korban.

Wawan menjelaskan, dalam ketentuan tersebut, sumber pembiayaan Dana Bantuan Korban berasal dari dua jalur utama, yakni hibah dan APBN. 

Dana hibah dapat bersumber dari masyarakat, lembaga filantropi, program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan, maupun sumber sah lainnya yang tidak mengikat. Sementara itu, alokasi dari APBN akan disalurkan melalui DIPA LPSK.

Meski demikian, dua sumber utama tersebut dinilai belum cukup untuk menjamin keberlanjutan program. Oleh karena itu, LPSK mendorong agar potensi PNBP penegakan hukum juga dioptimalkan untuk mendukung pendanaan DBK. 

Langkah ini tidak hanya memperkuat kemandirian fiskal, tetapi juga memperluas ruang keadilan bagi para korban tindak pidana. “Skema ini juga mencerminkan prinsip keadilan restoratif, di mana hasil penegakan hukum negara dikembalikan untuk kepentingan korban tindak pidana,” jelas Wawan.

Sinergi Antarlembaga Kunci Keadilan Restoratif

Agar sistem ini berjalan efektif, diperlukan sinergi lintas lembaga antara LPSK, Kementerian Keuangan, dan Kejaksaan Agung. Kolaborasi tersebut penting untuk memastikan penyaluran PNBP penegakan hukum dilakukan secara proporsional, transparan, dan berkelanjutan.

Data Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan mencatat bahwa pada 2023, total PNBP dari sektor penegakan hukum mencapai Rp9,47 triliun. Jika sebagian kecil dari angka tersebut dialokasikan untuk Dana Abadi Korban, potensi pemulihan bagi korban tindak pidana akan meningkat signifikan.

Dengan adanya dukungan lintas sektor, negara tidak hanya hadir dalam bentuk regulasi, tetapi juga dalam tindakan nyata untuk menjamin hak korban. LPSK meyakini bahwa keadilan tidak hanya diukur dari seberapa berat hukuman dijatuhkan, tetapi juga dari sejauh mana korban mendapatkan pemulihan yang layak.

Sinergi ini diharapkan menjadi langkah penting menuju sistem keadilan yang lebih manusiawi, di mana hasil penegakan hukum dapat kembali memberikan manfaat bagi masyarakat yang terdampak langsung oleh tindak pidana.

Dalam perspektif yang lebih luas, kebijakan optimalisasi PNBP dan pembentukan Dana Abadi Korban menjadi wujud konkret komitmen negara terhadap keadilan sosial. Melalui pendekatan ini, kehadiran negara tidak hanya simbolik, tetapi juga memberikan kepastian hukum dan keadilan yang berpihak pada korban.

Dengan langkah tersebut, LPSK menegaskan bahwa pemulihan korban bukan sekadar tanggung jawab hukum, melainkan bagian penting dari tanggung jawab moral dan sosial negara terhadap warganya.

Terkini