Pakar Dorong Peninjauan PP 45/2025 Demi Keberlanjutan Industri Sawit Nasional

Rabu, 15 Oktober 2025 | 09:38:37 WIB
Pakar Dorong Peninjauan PP 45/2025 Demi Keberlanjutan Industri Sawit Nasional

JAKARTA - Penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 menimbulkan reaksi keras dari kalangan ahli hukum kehutanan dan pelaku industri sawit.

Regulasi yang mengatur sanksi administratif serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor kehutanan ini dianggap membawa pendekatan yang terlalu menghukum, sehingga dapat mengganggu keberlanjutan industri sawit nasional.

Pakar hukum kehutanan, Sadino, menilai penyusunan PP tersebut dilakukan tanpa melibatkan para pemangku kepentingan di industri sawit dan minim uji publik. Padahal, sekitar 42% lahan sawit di Indonesia dikelola oleh petani kecil yang memiliki keterbatasan finansial dan administratif.

Menurutnya, regulasi baru ini justru bisa memukul kelompok tersebut yang seharusnya mendapat perlindungan dan pembinaan.

“PP ini mengubah paradigma kebijakan dari pembinaan menjadi pembinasaan, dari penataan menuju pengambilalihan. Bila PP 24/2021 masih memberi ruang penyelesaian, PP baru ini justru menutupnya,” ujar Sadino menegaskan.

Sanksi Denda Dinilai Tidak Rasional dan Ancam Petani Kecil

Salah satu poin yang paling disorot dari PP 45/2025 adalah ketentuan denda administratif yang mencapai Rp25 juta per hektare per tahun bagi pelanggaran pemanfaatan kawasan hutan. Sadino menilai, angka ini sangat tidak rasional dan berpotensi mematikan roda ekonomi di sektor sawit, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah.

Ia memaparkan, jika penguasaan lahan berlangsung selama dua dekade, maka total denda bisa mencapai Rp375 juta per hektare—angka yang jauh melampaui nilai lahan sawit itu sendiri yang umumnya berada di kisaran Rp50–100 juta per hektare.

“Dengan denda sebesar itu, pelaku usaha kecil bisa bangkrut, sedangkan korporasi besar pun akan terguncang arus kasnya. Bank akan kehilangan kepercayaan untuk menyalurkan kredit ke sektor ini,” jelasnya.

Menurutnya, kebijakan ini berpotensi memunculkan efek domino seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), penelantaran kebun, serta penurunan produksi sawit nasional.

Bahkan, Sadino memperingatkan bahwa ancaman pengambilalihan lahan oleh BUMN yang tercantum dalam aturan ini dapat menimbulkan inefisiensi baru dalam tata kelola sektor kehutanan dan perkebunan.

Kritik terhadap Ketidaksesuaian dengan Prinsip Hukum dan UU Cipta Kerja

Dari aspek hukum, Sadino menilai PP 45/2025 tidak sejalan dengan mandat undang-undang yang lebih tinggi, termasuk Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), serta Undang-Undang PNBP. 

Ia menekankan bahwa besaran denda seharusnya ditetapkan dengan mempertimbangkan prinsip proporsionalitas dan rasionalitas—yakni sebanding dengan tingkat pelanggaran dan manfaat ekonomi yang diperoleh.

“Semangat UU Cipta Kerja adalah korektif, bukan represif. Denda seharusnya mendorong kepatuhan, bukan mematikan usaha. Apalagi, kesalahan tata ruang di masa lalu juga akibat tumpang tindih kebijakan pemerintah sendiri,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Sadino menilai penerapan aturan yang bersifat retroaktif dapat mengirim sinyal negatif ke investor global. Menurutnya, hal ini bisa menurunkan kepercayaan investor terhadap kepastian hukum di Indonesia, terutama pada sektor berbasis lahan. 

“Penerapan aturan secara retroaktif membuat investor kehilangan kepastian. Indonesia bisa dipersepsikan sebagai high-risk investment country untuk sektor berbasis lahan,” tegasnya.

Dalam konteks ekonomi, ketidakpastian ini bisa menahan arus investasi baru, mengganggu ekspor, dan memperlemah kontribusi sektor sawit terhadap penerimaan negara. Padahal, industri sawit selama ini menjadi salah satu kontributor utama dalam menjaga surplus neraca perdagangan nasional.

Ajakan untuk Dialog dan Revisi Aturan Demi Keberlanjutan

Sebagai jalan keluar, Sadino mendorong pemerintah untuk membuka kembali ruang dialog yang konstruktif bersama para pelaku industri sawit, akademisi, dan organisasi petani. 

Langkah ini dinilai penting agar implementasi hukum kehutanan tetap sejalan dengan prinsip keadilan agraria serta tidak menimbulkan beban berlebih bagi masyarakat kecil.

“Kami berharap Bapak Presiden meninjau kembali PP 45/2025. Industri sawit adalah tulang punggung ekonomi nasional, penopang ekspor, dan sumber penghidupan jutaan petani. Jangan sampai kebijakan ini justru mematikan sektor strategis ini,” tutup Sadino.

Ia menegaskan bahwa semangat regulasi seharusnya berfokus pada pembinaan dan penataan, bukan penghukuman. Pemerintah diharapkan mampu menyeimbangkan antara penegakan hukum dan perlindungan terhadap keberlangsungan usaha. 

Dengan demikian, kebijakan yang dikeluarkan dapat mendukung prinsip pembangunan berkelanjutan, tanpa mengorbankan sektor yang telah menjadi pilar utama ekonomi nasional.

Langkah dialogis juga diyakini dapat menciptakan kepastian hukum yang lebih baik bagi pelaku usaha serta menjaga kepercayaan investor internasional terhadap stabilitas kebijakan Indonesia. 

Jika prinsip kolaboratif ini dipegang, sektor sawit tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga tumbuh lebih berdaya saing dalam menghadapi tantangan global.

Perlu Penyesuaian agar Regulasi Tak Menghambat Pertumbuhan

Polemik terkait PP 45/2025 memperlihatkan pentingnya keseimbangan antara aspek hukum, ekonomi, dan sosial dalam perumusan kebijakan. 

Meskipun pemerintah memiliki tujuan untuk memperkuat tata kelola kehutanan dan meningkatkan PNBP, pendekatan yang terlalu represif justru bisa berbalik arah dan menghambat pertumbuhan industri strategis seperti sawit.

Kebijakan yang berpihak pada keadilan agraria dan mempertimbangkan kemampuan finansial pelaku usaha kecil akan memberikan dampak positif jangka panjang bagi keberlanjutan ekonomi nasional. 

Dengan evaluasi yang tepat dan keterlibatan semua pihak, PP 45/2025 dapat diarahkan ulang menjadi regulasi yang adil, rasional, dan mendukung kesejahteraan jutaan keluarga yang menggantungkan hidupnya pada industri sawit Indonesia.

Terkini